drama

Normal
0

false
false
false

EN-US
X-NONE
X-NONE

MicrosoftInternetExplorer4

/* Style Definitions */
table.MsoNormalTable
{mso-style-name:”Table Normal”;
mso-tstyle-rowband-size:0;
mso-tstyle-colband-size:0;
mso-style-noshow:yes;
mso-style-priority:99;
mso-style-qformat:yes;
mso-style-parent:””;
mso-padding-alt:0in 5.4pt 0in 5.4pt;
mso-para-margin-top:0in;
mso-para-margin-right:0in;
mso-para-margin-bottom:10.0pt;
mso-para-margin-left:0in;
line-height:115%;
mso-pagination:widow-orphan;
font-size:11.0pt;
font-family:”Calibri”,”sans-serif”;
mso-ascii-font-family:Calibri;
mso-ascii-theme-font:minor-latin;
mso-hansi-font-family:Calibri;
mso-hansi-theme-font:minor-latin;}

Disaat aku harus mengalah

                Ketika sang surya mulai tenggelam yang disertai dengan tiupan angin hingga membuat daun daun berjatuhan dari pohonnya. Nampak seorang gadis cantik duduk diteras rumahnya seorangdiri tanpa ada yang menemani. Dia adalah Sinta, gadis remaja desa Muncul Kembali yang kini duduk dikelas 2 Sekolah Menengah Atas, dan telah berumur 17 tahun. Masa yang terindah ketika dibangku SMA. Sinta adalah seorang remaja yang baik, tidak pernah ada berita yang tak enak didengar menerpanya, ia adalah sosok gadis yang ceria, senang bersahabat tanpa membeda-bedakan orang yang ada disekitarnya. Sinta hidup dengan kedua orang tuanya dan ia memiliki seorang kakak bernama Rena, yang juga memiliki watak persisi seperti dirinya. Heni dan Ita adalah dua orang sahabat terbaiknya, bersama merekalah Sinta menjalani rutinitasnya setiap hari disekolah, dan biasanya disore seperti ini mereka sering berkumpul bersama. Namun, disenja ini Sinta terlihat berbeda, raut mukanya Nampak murung, ia sedang melamun didalam diamnya.

Sinta: “ Kenapa rasa ini semakin dalam kurasakan, aku semakin larut terbayang bayang dirinya. Padahal aku sudah berupaya untuk menghilangkan rasa ini, namun sekarang berbeda, sejak pertemuan itu…. “ (batinnya).

Rena:“ Hey kamu! Kenapa adikku sayang? Kok murung sih? ” (menghampiri Sinta)

Sinta : “ Astaga kakak! Aku jadi kaget ini! ”.

Rena : “ Kakak tahu kok, pasti kamu sedang khawatir dengan pacar kamu yang jauh entah dimana. Hahaha “ ( kakak Sinta meledek ).

Sinta : “ Kakak bicara apa sih! Aku belum punya pacar kak! Kurang jelas!” ( gerutunya kesal ).

Rena : “ Jangan bohong sama kakak, jaman sekarang kok belum punya pacar, kuper kamu ta, alias kurang pergaulan. Cantikmu itu buat apa kalau sampai sekarang kamu masih belum dapet lelaki “.

Sinta : “ Memangnya kenapa kak? Masalah buat kakak? Kakak sendiri juga belum laku dipasaran! Hahaha “.

Rena : “ Sialan ( mencubit Sinta ) jangankan satu pacar, sepuluh pacar pun kakak punya, yang tersebar diseluruh Indonesia “.

Sinta : “ Kok aku tidak pernah melihatnya kak? Bilang saja kakak masih belum laku “ ( sambil berlari meninggalkan kakaknya, agar ia tidak dicubit lagi).

Rena : “ Apa kam bilang! Awas ya kamu ta! “ ( berlari mengejar Sinta )

                Sinta dan Rena terus berkejar-kejaran sampai ke tengah jalan yang ada didepan mereka,. Dengan begitu, Sinta sudah tidak terlarut larut dalam kemurungannya tadi, ia cukup terhibur dengan semua celotehan yang kak Rena berikan. Seorang laki laki yang tadi sedang ia pikirkan, kini sdikit hilang dari otaknya. Sampai malam, Sinta masih bercanda tawa dengan kakaknya, hingga tiba waktunya untuk tidur. Bayang laki laki itu kembali hadir dalam otaknya yang membuatnya semakin gelisah kembali.

Sinta : “ Laki laki itu Ivan, aku sangat mengagumimu walau kau tak pernah tahu. Aku ingin memilikimu, aku jatuh hati padamu, kau harus tau itu “. ( batinnya dalam hati seolah olah Ivan berada didepan matanya ).

Mama Sinta : “ Nak, kamu sedang apa? Kok melamun begitu, lihat sudah jam sebelas malam, apa kamu punya masalah? “.

Sinta : “ Masalah? Sinta tak punya masalah ma, mama tenang saja, Sinta baik baik saja kok “.

Mama Sinta : “ Bener itu Sinta? Kamu tidak bohong? “.

Sinta : “ Bener ma, sungguh! “.

Mama Sinta : “ Ya sudah, sekarang kamu tidar dan pakai selimutnya, uadara dingin sekali nak “.

Sinta : “ Baik ma, Sinta juga sudah mengantuk “.

( Mama Sinta bergegas pergi dari kamar putrinya. Sinta pun tertidur lelap ditengah dinginnya malam ).

Keesokan harinya…

Mama Sinta : “ Ini sarapannya nak, kamu makan dulu “.

Sinta : “ Iya ma, kak Rena mana? Memangnya sekarang dia tidak ada jadwal kuliah? “.

Rena : “ Kakak libur ta, memangnya seperti kamu yang tiap hari harus berangkat pagi “. ( sahut Rena dari dalam kamarnya ).

Sinta : “ Kakak cari gara-gara terus itu ma “.

Mama Sinta : “ Sudahlah Sinta, kamu berangkat saja. Hati-hati naik motornya nak “.

Sinta : “ Baik ma, Sina berangkat dulu “.

Mama Sinta : “ Hati hati dijalan sayang “.

Ditengah perjalanan…

Ivan : “ Hay, berangkat sendiri? “ ( sambil melontarkan senyumannya pada Sinta ).

Sinta : “ ( menoleh ) emmm… Iya “ ( dengan ucapannya yang terkaget kaget terhadap apa yang ada didepan matanya ).

Ivan : “ Aku berangkat dulu ya “ ( melaju sepeda motornya dan meninggalkan Sinta ).

Sinta : “ Ya Tuhan, apa benar dia tadi yang menyapaku itu Ivan? Aku senang sekali Tuhan. Senyum itu semakin membuatku jatuh hati padanya, dia ramah sekali “ ( batin Sinta dalam hati ).

                 Sesampainya dikelas, Sinta duduk dibangku paling depan. Belum Nampak kedua sahabatnya berada dikelas, mungkin mereka belum berangkat. Sinta duduk dan kembali melamun tentang apa yang tadi menimpanya. Ia membayangkan bagaimana saat pertama sang pujaan hatinya itu menyapanya, bertanya padanya dan yang paling penting adalah ketika senyum pujaan hatinya itu dilontarkan dengan manis sekali kepadanya dan terus menempel diotaknya. Hingga ia tak sadar bahwa Heni dan Ita telah berada didepannya dan memanggilnya berulang kali, namun Sinta tak mempedulikannya.

Heni : “ Ta! Sinta! “.

Ita : “ Ini anak kenapa? Dipanggil diam saja! “.

Sinta : “ Astaga! Kalian ini membuatku kaget saja! Teriak teriak tak jelas seperti itu! “.

Ita : “ Bagaimana? Harusnya kita yang tanya sama kamu, dari tadi dipanggil tapi tak menjawab! “.

Sinta : “ Ups maaf, aku asyik melamun tadi “.

Heni : “ Memang kamu sedang melamunkan apa? Kok kamu tidak pernah cerita denganku dan Ita “.

Sinta : “ Ini baru akan kuceritakan pada kalian Hen, tadi dijalan aku bertemu dengan Ivan? Kalian tahu kakak kelas kita itu? Aku jatuh padanya. Aku ingin sekali memilikinya, aku sudah tak kuat menaha rasa ini, makanya tadi aku melamun “.

Heni : “ Kok kamu seperti itu Ta? Kamu serius? “.

Ita : “ Terus sekarang kamu akan bagaimana? “.

Sinta : “ Aku serius, tapi aku bingung, apakah Ivan juga mempunyai perasaan yang sama sepertiku? Aku takut dia tak suka paaku Hen, Ta. Aku terlalu berharap untuk mendapatkan cintanya. Aku takut, aku bingung, apakah kalian dapat membantuku? “

Ita : “ Kita ini sahabat Ta, aku akan selalu membantumu sekuat kemampuanku ”.

Heni : “ Itu benar Sinta, memang kamu ingin kami bantu apa? “.

Sinta : “ Aku pun tak tahu apa rencanaku berikutnya. Sepertinya hati ini ingin sekali memilikinya, tapi aku takut…. “

Heni & Ita : “ Kamu takut kenapa Ta? “

Sinta : “ Aku takut kecewa “ ( katanya sedih ).

Heni : “ Sinta, kamu harus berani mengungkapkan apa yang ada dalam hatimu. Aku yakin kam tipe perempuan yang kuat dan tak mudah menyerah. Seberat apapun rintangan yang akan kamu hadapi pasti kamu dapat dengan mudah melewatinya, dan kamu akan mendapatkan apa yang kamu inginkan “.

Ita : “ Itu benar Ta, kamu harus semangat , berani bercinta berani mengenal air mata“.

Sinta : “ Tapi… “

                Tak lama kemudian, bel tanda masuk berbunyi, semua siswa masuk kelas mereka masing-masing. Empat jam pelajaran pun telah terlewati. Bel tanda istirahat mengeluarkan suaranya, hampir seluruh siswa berhamburan keluar ruangan menuju kantin sekolah. Nampak pula Heni, Ita dan Sinta juga berjalan menuju kantin, untuk membeli bakso dan es teh kesukaan mereka.

Sinta : “ Mana pesanan kita belum dating juga? “.

Ita : “ Itu ibu kantin baru akan mengantarkan pesanan kita “.

Heni : “ Sedap “.

Ita : “ Siap santap! “.

Ita : “ Eh tunggu, lihat siapa yang lewat “.

Sinta : “ Dia kan.. “ ( menoleh kearah yang dituju Ita ).

Heni : “ Ivan! “.

Sinta : “ Aku malu! “.

Heni : “ Cie yang sedang jatuh cinta, aku panggil apa Ta? “.

Sinta : “ Jangan dong, dia juga sudah pergi “.

Ita : “ Sebenarnya kamu ini akan bagaimana Ta? Apa kamu akan seperti ini terus? “.

Heni : “ Benar Ta, kamu tidak boleh berlarut larut terlalu lama dengan risaumu. Kamu harus mendapatkan cinta yang kamu dambakan selama ini “.

Sinta : “ Tapi…. “

Ita : “ Sudahlah, kamu terlalu lama berfikir, nanti diambil orang lain Ta! “.

Sinta : “ Iya kalian benar, aku harus mendapatkan cintaku! “.

Ita & Heni : “ SEMANGAT SINTA! Yeyeye lalala… “

                Waktu pelajaran hari ini telah berakhir, semua murid SMA Muncul Kembali bergegas pulang kerumah mereka masing masing. Mereka menuju ke tempat parkir untuk mengambil sepeda motornya masing masing. Seperti halnya Sinta, ia juga bergegas menuju tempat parkir bersama Heni dan Ita. Ditempat itu Sinta bertemu seseorang, seorang yang sangat ia kagumi, Ivan.

Sinta : “ Hen, Ta ada Ivan itu? “.

Ita : “ Aku tidak melihatnya”.

Sinta : “ Itu didekat tembok merah, aku malu “.

Heni : “ Kebetulan juga motor kamu disana Ta “.

Sinta : “ Aduh bagaimana ini? “ ( perasaannya kacau ).

Ita : “ Sudahlah taka pa, mari kita kesana “ ( mereka bertiga berjalan menuju tempat parkir tembok merah itu ).

Ivan : “ Hay Sinta! “ ( seperti menyambut Sinta ).

Sinta : “ Emmm… hay juga mas Ivan “. ( tersipu malu )

Ivan : “ Kamu cantik sekali Sinta “.

Heni & Ita : “ Hah? Sepertinya kita mengganggu suasana ini “.

Sinta : “ Apa-apaan kalian ini. Iya makasih mas Ivan “.

Ita : “ Cie ada yang saling naksir “.

Ivan : “ Siapa? Kamu Sinta? “.

Ita : “ Iy a jawaban paling benar! Itu yang dari tadi malu malu “.

Sinta : “ ITA!!! “ ( KESAL )

Heni : “ Jujur saja Sinta! “.

Ivan : “ Kalian ini tak perlu memaksa Sinta untuk jujur, aku sendiri sudah tau kok, dan aku sudah tau apa yang harus aku lakukan. Tunggu saja besok, aku dan kamu Sinta, kita bertemu disini. Kamu harus menungguku sampai aku datang “.

                Tanpa menunggu jawaban yang keluar dari mulut Sinta, Ivan telah pergi meninggalkannya, Sinta masih kebingungan dengan apa yang telah terjadi tadi, kedua sahabatnya masih saja tetap meledeknya hingga akhrinya mereka memutuskan untuk pulang kerumah mereka masing-masing.

Keesokan harinya, Sinta berangkat sekolah dengan penuh semangat, ia terlihat sangat ceria dan terus menunggu jam pulang sekolah nanti. Kemudian, bel tanda pulang berbunyi. Dengan cepat Sinta menuju tempat parkir bertembok merah itu. Sedangkan Heni dan Ita mengintipnya dari kejauhan. Sinta menunggu kedatangan Ivan, tak lama kemudian Ivan pun dating menemuinya.

Ivan : “ Hey Sinta, maaf ya menunggu lama, aku dari kantin sebentar tadi, kamu tidak terpaksa menemuiku sekarang? “.

Sinta : “ Tentu tidak mas, dengan senang hati aku bertemu denganmu “.

Ivan : “ Baiklah, aku langsung ke intinya saja kita bertemu sekarang. Kamu tahu apa maksudku mengajakmu bertemu disini Ta? “.

Sinta : “ Sebenarnya….”

Ivan : “ Sebenarnya apa Ta?

Sinta : “ Sebenarnya aku sudah tahu mas, pasti mas Ivan akan memberikan keputusan kepadaku tentang apa yang aku rasakan. Bukan begitu mas? “.

Ivan : “ Kamu benar Sinta, kenapa kamu bias mengagumiku secara berlebih hingga kamu sering melmun sendiri seperti itu Sinta? “.

Sinta : “ Baiklah.. ( Sinta memberanikan diri ) aku mengagumi mas Ivan sejak pertama aku melihatmu mas dikantin dulu, aku terbayang bayang wajah mas Ivan, entah apa sebabnya. Rasanya hanya ada mas Ivan dipikiranku ini, aku mencintaimu mas “.

Ivan : “ Kamu serius dengan kata-katamu itu? “.

Sinta : “ Aku sangat serius dengan kata-kataku mas, didalam hatiku, aku ingin mas Ivan mempunyai perasaan yang sama sepertiku. Aku ingin mendapatkan cinta mas Ivan “.

Ivan : “ Apa kamu sangat ingin menjalani hidup denganku? “.

Sinta : “ Aku sangat mengharapkan itu mas, sekarang aku yang bertanya dengan mas Ivan, apakah mas Ivan juga memiliki perasaan yang sama seperti aku mencintai mas Ivan? “.

Ivan : ( terdiam ) “ Aku…… “

Sinta : “ Jawab mas? “.

Suasana saat itu begitu hening, tak sepatah kata pun keluar dari mulut keduanya, mereka berdiam diri hingga akhirnya…

Sinta : “ Mas tidak mau menjawabnya? “.

Ivan : “ Apa kamu tahu jika cinta itu tidak dapat dipaksakan?

Sinta : “ Jadi? Apa maksud mas Ivan? “ ( dengan mata berkaca kaca yang hamper saja akan meneteskan air matanya)

Ivan : “ Sin, aku tahu kamu anak yang baik, kamu anak yang periang dan tak mudah menyerah, wajahmu pun cantik, tapi…. “

Sinta : “ Tapi apa mas? “ ( ia sudah tak mampu lagi menahan air matanya, yang kini telah menetes membasahi pipinya).

Ivan : “ Aku tak pernah berniat untuk menyakitimu Ta, tapi maaf aku tak akan pernah bisa mencintaimu. Karena perasaan kita berbeda “.

Sinta : “ Apa mas? ( Sinta menangis didepan mas Ivan). Lalu bagaimana dengan perasaanku ini mas? Kenapa mas Ivan tak menghargai perasaanku ini? “.

                Tanpa menunggu jawaban dari Sinta, Ivan sudah pergi meninggalkannya. Namun, Sinta masih menghalanginya pergi untuk membuktikan kepada pujaan hatinya itu. Dengan sisa tenaganya, dan dalam suasana hati yang kacau, ia bersikeras untuk mengejar mas Ivan dan semakin mengejarnya lagi hingga…

Sinta : “ Mas Ivan, tunggu! Aku belum selesai berbicara denganmu mas? Kenapa mas Ivan seperti ini padaku? “ ( teriak Sinta menangis ).

Ivan tak mempedulikannya, bahkan ia terus berjalan menuju kedepan sekolah.

Sinta : “ Mas, aku mohon tunggu aku sebentar saja, berhenti mas! ” ( semakin dalam Sinta menangis hingga suaranya tak jelas terdengar).

Ivan : “ Ada apa lagi? ( akhirnya ia menghentikan langkahnya ).

Sinta : “ Kenapa kamu tega seperti ini padaku? Kenapa kau tak membalas cintaku ini? Bahkan kau abaikan aku seperti sampah! “

Ivan : “ Apa kamu belum jelas dengan penjelasanku tadi? “.

Sinta : “ Tapi mas, aku sudah terlanjur mencintaimu dan aku ingin memilikimu! “.

Ivan : “ Itu semua hanya mimpimu saja. Aku tak pernah menyuruhmu untuk mencintaiku! Kau sendiri yang terlalu memaksa, kita tak mungkin bersama! Baik tidaknya keputusanku itu adalah hal yang harus kamu terima! AKU TIDAK MENCINTAIMU SINTA! “.

Sinta : “ Apa ?  Kenapa mas? Kenapa kamu sekejam itu padaku! “.

Ivan : “ Sudah sana pulang kau! Buang buang waktu saja! “.

                Sinta hanya bisa menangis, meraapi kejadian yang menimpanya. Hatinya hancur tak dapat diungkapkan dengan kata-kata ataupun digambarkan dengan lukisan. Ia sangat terpukul, Sinta tidak menyangka jika seseorang yang sangat ia cintai, bisa sekejam itu menyakiti hatinya. Hingga kini adalah saatnya ia harus menyerah, mengalah demi sesuatu yang akan menjadi hikmah dari kejadian ini. Kedua sahabatnya yang tadi mengamati semua peristiwa itu, kemudian menghampirinya.

Ita : “ Kamu harus sabar Sinta, ada kami disini untuk kamu, kamu jangan menangis “.

Heni : “ Masih ada kita disini yang akan terus bersamamu dan membantumu Sinta, kamu harus tetap semangat! “.

Sinta : “ Kenapa semua ini harus terjadi padaku? Aku tak pernah menyangka dia akan setega itu padaku “.

Heni : “ Sudahlah, anggap saja ini ujian untuk kamu dan jangan kamu berputus asa! “.

Ita : “ Ini bukan kekalahanmu Sinta, ini adalah waktumu untuk mengalah ketika memperjuangkan cinta yang bukan untukmu, dan kamu akan beruntung karena suatu hari nanti kamu akan diberikan jodoh yang lebih baik darinya “.

Sinta : “ Aku kecewa dengan semua ini! “ ( masih terus menangis ).

Ita : “ Yang lalu biarlah berlalu, kenapa kamu masih memikirkannya? Lupakan dia Sinta! “.

Sinta : “ Aku butuh waktu untuk melupakannya, aku memang sudah menyerah mengejar cintanya. Tapi cinta ini belum hilang dari hatiku “.

                Akhirnya Sinta menyadari semua hal itu, ia percaya bahwa Tuhan akan memberikan jodoh terbaik untuknya, dan itu bukanlah Ivan yang telah melukai hatinya. Memang saat ini hatinya masih tak bisa melupakannya, tetapi ditengah kepedihan dan kesedihan hatinya, ia berusaha untuk tetap tegar, melupakan seseorang yang telah menggoreskan luka dalam hatinya. Ia percaya, suatu saat nanti bayang-bayang laki laki itu akan terhapus dari hatinya.